Senin, April 28, 2025
BerandaNewsBisikan Hasto Kristiyanto yang Menghancurkan PDIP

Bisikan Hasto Kristiyanto yang Menghancurkan PDIP

Jurnalsumut.id – Medan, 2 Desember 2024, PDI-P, partai yang pernah menjadi penguasa politik Indonesia, kini hancur akibat permainan dalamannya yang tak terkendali.

Banyak yang mulai menyadari bahwa penyebab utama kemunduran partai ini bukanlah dari luar, melainkan dari internalnya sendiri – tepatnya, dari bisikan Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal yang dianggap terlalu dekat dengan Megawati Soekarnoputri.

Hasto yang selama ini menjadi tangan kanan Megawati, kini dianggap sebagai sosok yang merusak dan memporak-porandakan struktur partai yang sudah lama berdiri.

Berbagai laporan dari dalam PDI-P mulai mengungkapkan bahwa Hasto, dengan segala ambisinya, telah memberi “bisikan” yang sangat berbahaya kepada Megawati.

Tugasnya yang seharusnya menjaga stabilitas partai malah menjelma menjadi bumerang. Informasi yang disampaikannya sering kali jauh dari kenyataan yang ada di lapangan, lebih banyak didasari oleh loyalitas buta daripada fakta politik yang terjadi.

Akibatnya, keputusan-keputusan penting yang dibuat oleh Megawati cenderung membingungkan dan merugikan partai.

Hasto Kristiyanto diyakini menjadi penyebab utama mengapa PDI-P mulai kehilangan pijakan di daerah-daerah penting, seperti di Sumatera Utara (Sumut) dan Jawa Tengah. Sumut, yang dulunya menjadi kantong suara terbesar PDI-P, kini terancam lepas dari cengkraman partai.

Begitu pula dengan Jawa Tengah, “kandang banteng” yang selama ini menjadi basis kuat PDI-P, kini malah menjadi medan pertempuran yang berat. Dalam kedua daerah tersebut, PDI-P kini terjebak dalam persaingan yang ketat dengan partai-partai lain yang lebih segar dan progresif.

Dedi Sitorus, anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang sebelumnya dikenal sebagai sosok yang cukup berpengaruh, juga tak luput dari kritik. Dedi yang seharusnya mengayomi dan memperjuangkan aspirasi masyarakat di daerah pemilihannya, kini dipandang hanya sebagai sosok yang lebih mementingkan karier politik pribadi.

Ketidakmampuannya dalam merespons kebutuhan akar rumput, serta sikap elit yang jauh dari keinginan masyarakat, membuatnya tak lagi dipercaya. PDI-P di Sumatera Utara, yang dulu menjadi basis suara besar, kini terancam kehilangan kursi-kursinya akibat keberadaan Dedi yang makin terasingkan dari rakyat.

Tak kalah parah, Adian Napitupulu, yang dulunya dikenal sebagai aktivis yang berani menyuarakan kebenaran, kini semakin dipandang sebagai alat politik yang tidak menguntungkan.

Adian yang sebelumnya dianggap sebagai figur muda yang dapat membawa angin segar untuk partai, malah terjebak dalam perdebatan-perdebatan politis yang tidak relevan dengan kondisi riil di lapangan. Seiring dengan semakin dekatnya Pemilu 2024, banyak pihak mulai meragukan integritas dan kepemimpinan Adian di PDI-P. Bukan hanya di tingkat nasional, bahkan di daerah pemilihannya, Adian mulai kehilangan suara dukungan.

Ketiga nama besar ini, yang seharusnya menjadi ujung tombak PDI-P, kini justru semakin memperburuk citra partai. Dengan adanya perpecahan yang kian meluas, baik dalam tubuh partai maupun di kalangan pemilih, PDI-P mulai kehilangan momentum yang sebelumnya mereka miliki.

Persaingan dalam Pemilu 2024 semakin sengit, dan PDI-P, yang dulu sangat dominan, kini terancam tergerus oleh pesaing-pesaing yang lebih lincah dan adaptif terhadap perubahan.

Banyak pengamat politik yang menyebutkan bahwa kekalahan PDI-P di Jawa Tengah, yang merupakan “kandang banteng”, adalah akibat dari keputusan-keputusan yang dibuat oleh Hasto, Dedi, dan Adian yang tidak mencerminkan kehendak rakyat.

PDI-P tidak lagi mampu merangkul elemen-elemen masyarakat yang dulu menjadi pendukung setianya. Bahkan di Sumatera Utara, yang dulunya merupakan kantong suara utama di kelompok minoritas, partai ini kini mulai kehilangan pijakan akibat kurangnya konsolidasi yang baik antara pengurus pusat dan kader-kader daerah.

Sikap elit yang terlalu terfokus pada kepentingan pribadi dan kelompok tertentu telah membuat para pemilih, khususnya generasi muda, merasa teralienasi. Mereka mulai menilai bahwa PDI-P lebih mengutamakan loyalitas internal ketimbang kepentingan rakyat banyak. Hal ini semakin memperburuk citra partai di mata publik, terutama di kalangan pemilih yang kritis terhadap politikus yang hanya mementingkan diri sendiri

Dalam beberapa bulan terakhir, PDI-P tampaknya kehilangan arah. Satu per satu, seperti Budiman Sudjatmiko dan Maruarar Sirait, kader-kader yang dulu setia mulai menarik diri, merasa bahwa keberadaan mereka tak lagi dihargai.

Hasto yang seharusnya menjaga kestabilan partai malah tak mampu meredam ketegangan internal yang terus berkembang. Daya tarik PDI-P di mata pemilih muda semakin pudar, sementara pesaing-pesaing lain seperti Gerindra dan Golkar justru semakin menguat dengan calon-calon yang lebih segar dan dekat dengan suara rakyat.

Di Sumut, PDI-P harus merelakan keunggulannya tergeser oleh kekuatan partai-partai yang lebih tanggap terhadap dinamika lokal. Di Jawa Tengah, kemenangan yang seharusnya sudah di tangan malah kalah telak akibat kurangnya strategi yang cerdas dari Hasto. Kekalahan PDI-P bukan lagi sekadar spekulasi, melainkan ancaman nyata yang mengintai di Pemilu 2024.

Pada akhirnya, PDI-P harus segera menghadapi kenyataan bahwa Hasto Kristiyanto adalah salah satu faktor utama di balik kemunduran partai ini. Bisikan-bisikan yang selama ini disampaikan Hasto kepada Megawati ternyata hanya membawa kehancuran.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments