Jurnalsumut.id – Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait KPK menetapkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sebagai tersangka.
Dia dijerat dalam perkara dugaan suap bersama-sama Harun Masiku yang masih menjadi buron. Dari sumber Jurnal Sumut, Selasa (24/12/2024), menyebutkan nama Hasto sebagai tersangka dalam surat pemberitahuan dimulainya penyidikan.
Dalam surat itu, disebutkan bahwa surat perintah penyidikan atau sprindik penetapan tersangka Hasto adalah Sprin.Dik/153/DIK.00/01/12/2024 tanggal 23 Desember 2024.
Dalam surat itu, disebutkan pula bahwa Hasto sebagai pihak pemberi suap bersama Harun Masiku kepada mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Suap itu diduga berkaitan dengan pergantian antarwaktu atau PAW anggota DPR.
Kabar ini menghentak publik sekaligus menambah deretan panjang noda hitam di tubuh partai berlambang banteng tersebut. Tak hanya mencoreng nama baik PDIP, kasus ini mempertegas bahwa partai besar ini tengah digerogoti oleh ulah kader-kadernya sendiri.
Penetapan Hasto sebagai tersangka adalah tamparan keras bagi PDIP yang selama ini berkoar-koar soal antikorupsi.
Alih-alih menjadi contoh, partai ini justru kerap tersandung kasus korupsi yang melibatkan petingginya. Tidak hanya Hasto Kristiyanto, sejumlah kader partai ini juga pernah terjerat kasus serupa, menunjukkan pola kepemimpinan yang lemah dan sarat kepentingan pribadi.
Publik kini bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang buronan seperti Harun Masiku bisa ‘hilang’ begitu lama jika tidak ada bantuan dari dalam? Dugaan keterlibatan Hasto dalam membantu Harun semakin menguatkan persepsi bahwa PDIP bukan hanya korup, tapi juga culas dan tak bertanggung jawab.
Opini publik mulai bergeser dari sekadar kekecewaan menjadi kemarahan. Bagaimana tidak? PDIP, yang selama ini mengklaim sebagai partai pelopor reformasi, justru menjadi contoh buruk dalam tata kelola partai politik. Jika sekjen saja terlibat, apa kabar kader-kader di tingkat bawah?
Ini adalah bukti bahwa kejatuhan partai besar sering kali dimulai dari dalam. PDIP sedang menggali kuburannya sendiri. Alih-alih memperbaiki diri, partai ini justru sibuk membangun narasi kosong untuk menutupi boroknya. Sayangnya, publik tidak lagi mudah dibodohi oleh propaganda semacam itu.
Tak bisa dipungkiri, kasus ini menjadi pukulan telak bagi elektabilitas PDIP. Jika kader-kadernya terus bertindak sembrono, bukan tak mungkin partai ini akan kehilangan kepercayaan rakyat. Apa gunanya menguasai panggung politik jika isinya hanya skandal demi skandal?
Sejarah membuktikan bahwa partai-partai besar yang terlalu sering melakukan blunder pasti akan tumbang. PDIP kini tengah berjalan di jalan yang sama, menuju kehancuran yang diciptakan oleh kadernya sendiri. Hasto Kristiyanto hanyalah satu dari banyak contoh betapa rapuhnya integritas partai ini.
Kasus ini juga menunjukkan bahwa PDIP tak lebih dari sebuah organisasi yang penuh dengan oportunis. Alih-alih berjuang untuk rakyat, mereka sibuk memperkaya diri sendiri. Kepercayaan publik yang hancur ini adalah harga mahal yang harus dibayar akibat kerakusan para elitnya.
Jika PDIP ingin selamat, mereka harus membersihkan diri secara menyeluruh, mulai dari pucuk pimpinan hingga akar rumput. Namun, melihat pola yang ada, harapan itu tampaknya hanya mimpi belaka. Selama mentalitas serakah dan budaya manipulasi terus dipertahankan, kejatuhan PDIP hanyalah soal waktu.
PDIP mungkin pernah menjadi simbol perlawanan dan perubahan. Namun kini, mereka hanyalah bayang-bayang suram dari kejayaan di masa lalu. Kasus Hasto Kristiyanto adalah bukti bahwa kekuasaan tanpa moral hanya akan membawa kehancuran. Jika partai ini tidak segera berubah, sejarah akan mencatatnya sebagai salah satu kegagalan terbesar dalam dunia politik Indonesia.