Jurnalsumut.id – Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) 2024 memasuki babak ketiga, debatan antar calon Gubernur Edy-Hasan serukan ‘jangan bohongi rakyat’ tetapi fakta di lapangan menunjukkan kenyataan yang berbeda terkait Benteng Putri Hijau. Dalam Pilgubsu 2024, klaim kedua calon gubernur ini tidak sesuai dengan kondisi nyata
Salah satunya adalah pernyataan dari dua calon gubernur, Edy Rahmayadi dan Hasan Basri Sagala, mengenai Benteng Putri Hijau—sebuah situs cagar budaya yang terletak di kawasan di Desa Deli Tua, Kecamatan Namorambe, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
Dalam debat tersebut, Hasan basri sagala mengatakan Benteng Putri Hijau ini di pugar dan di buka untuk umum, dengan alasan untuk mendorong pariwisata dan melestarikan warisan sejarah. Namun, hingga saat ini, kenyataan berbicara lain: Benteng Putri Hijau tetap sepi tanpa pengunjung, dan masyarakat bahkan dilarang masuk ke kawasan tersebut.
Sampai hari ini, Benteng Putri Hijau masih tampak sepi tanpa pengunjung. Bahkan, banyak yang merasa terkejut ketika mengetahui bahwa kawasan tersebut bukan hanya sepi, tetapi masyarakat juga dilarang untuk masuk.
Pernyataan yang diucapkan dalam debat Pilgubsu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan. Bukan hanya situs bersejarah ini yang terabaikan, tetapi klaim yang sering dilontarkan oleh hasan basri itu seperti sebuah bentuk kebohongan publik yang merendahkan kecerdasan rakyat.
Daftar Isi
Edy-Hasan: Klaim Politik vs. Realita Lapangan
Tidak ada yang lebih mencolok dalam kampanye kali ini selain seringnya Edy Rahmayadi dan Hasan Basri Sagala menyerukan, “Jangan bohongi rakyat!” dalam setiap kesempatan. Mereka menginginkan agar masyarakat tidak dibohongi oleh politik, dan mengklaim akan membawa perubahan besar jika terpilih. Namun, klaim mengenai Benteng Putri Hijau justru menunjukkan sebaliknya: kenyataan di lapangan sangat bertolak belakang dengan pernyataan mereka.
Salah satu warga yang merasakan langsung dampak dari klaim ini adalah ibu Wati (nama samaran), seorang pedagang yang membuka warung makan di sekitar kawasan Benteng Putri Hijau. Ketika ditemui di warungnya, ibu Wati dengan lugas mengungkapkan kekecewaannya.
“Saya sudah lama berjualan di sini, tapi sepi sekali, Padahal ini katanya tempat wisata, malah lebih sepi dari pasar malam,” ujar ibu Wati sambil mengusap piring kosong yang tergeletak di atas meja.
“Tidak ada yang datang ke sini. Sebelumnya, saya sempat berharap banyak, karena Edy dan Hasan bilang ini akan jadi destinasi wisata. Tapi kenyataannya, tempat ini malah sepi. Orang-orang dilarang masuk, apa yang bisa dijual kalau pengunjung saja nggak ada?”
Menurut ibu Wati, meski Benteng Putri Hijau telah menjadi pembicaraan dalam berbagai debat politik, kawasan itu tetap tertutup dan tidak ada pengunjung yang datang. Dia bahkan mengaku bahwa sejak pembatasan akses diberlakukan, pengunjung yang datang ke kawasan itu jauh berkurang, dan dampaknya sangat terasa bagi perekonomian masyarakat sekitar yang mengandalkan wisatawan.
“Sebagai pedagang, saya tergantung dengan pengunjung. Kalau ada wisatawan, ada yang beli makanan. Tapi, kalau mereka dilarang masuk, siapa yang datang?”
Pernyataan ibu Wati ini menggambarkan gambaran yang sangat berbeda dengan apa yang disampaikan dalam debat Pilgubsu. Cagar budaya yang diharapkan menjadi potensi wisata ternyata tidak menguntungkan masyarakat setempat, malah semakin tertutup dan tidak bisa diakses.
Kesimpulan
Pernyataan “jangan bohongi rakyat” seharusnya juga mencerminkan komitmen untuk tidak memperdaya rakyat dengan janji-janji yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Jika ingin mewujudkan perubahan nyata, maka pemimpin yang terpilih harus berani untuk membuka akses, memperbaiki pengelolaan cagar budaya, dan memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat, bukan hanya sekadar menjadikannya sebagai bahan kampanye politik.